Jumat, 04 Maret 2011

EDITOR


PENGERTIAN EDITOR
Editor sebagai pemulung? Sebagai terapis yang menyebalkan? Sebagai tukang sulap yang suka ikut campur urusan orang? Mana julukan yang paling pas untuk seorang editor  yang patut dimiliki seorang penulis? Pendekatan mana yang paling efektif untuk seorang editor dalam menyunting? Cobalah lihat sekali lagi apakah itu julukan untuk penulis atau editor? Sebenarnya itu cuma sedikit dari pekerjaan utama seorang editor. Demikian menurut Alan D William dalam jawaban yang cukup sekenanya mengenai pertanyaan, Apakah editor itu?
Apakah memang seorang editor tidak pernah beristirahat? Tidak. Jangan menganggap bahwa seorang editor adalah orang yang tidak bahagia dan orang yang teraniaya. Sebenarnya, bagi kebanyakan orang pekerjaan editorial justru merupakan sesuatu yang menyenangkan dan menantang.  Untuk itulah, dengan bijak William mengatakan: “Bilamana seorang editor sudah mulai memilih naskah tanpa didasari oleh ‘rasa’ antisipasi, dia mungkin sudah harus mulai memilikirkan untuk mencari pekerjaan lain.”


Pertanyaan retorik mengenai apakah editor itu mungkin agak sulit untuk dijawab secara singkat. Lagi pula, untuk membedakan editor berdasarkan pakaiannya, atau menjene¬rali-sa¬si¬¬¬¬kannya berdasarkan karakter, bentuk tubuh, latar belakang, interes, atau apa pun adalah sama tidak bergunanya seperti mengelompokkannya berdasarkan warna mata. Jika bentuk tidak bisa membantu, kita mungkin harus melihat fungsinya untuk menda¬patkan kesimpulan yang menyeluruh, dan untuk bagian-bagian yang dlihat penulis sebagai sebuah harapan atau keragu-raguan, keengganan atau  rasa syukur, rasa hina atau rasa hormat, dan bahkan cinta kasih.
 Editor dalam sebuah penerbitan bisa dilihat sebagai orang yang mengerjakan tiga peran berbeda yang sangat mendasar, yang semuanya dilakukan secara bersamaan. Pertama, mereka harus mencari dan menyeleksi buku yang akan diterbitkan. Kedua, mereka menyunting (ya, mereka memang menyunting, tak peduli apa pun alasannya, pengusaha y ang tak berperasaan, dan rasa yang dikalahkan oleh urusan dagang). Dan yang ketiga, mereka memerankan dewa bermuka dua, yaitu mewakili penerbit menghadapi penulis dan mewakili penulis menghadapi penerbit.
Fungsi pertama, yaitu editor sebagai ‘pemulung’ merupakan fungsi yang paling utama dari reputasi dan karier seorang editor. Fungsi ini mungkin yang paling diingat oleh penulis. Editor membutuhkan buku. Bukannya mereka ingin menunjukkan kesombongan atas naskah-naskah yang berdatangan, tetapi itulah mungkin yang dirasakan oleh para penulis yang naskahnya ditolak. Sebenarnya, bilamana seorang editor sudah mulai memilih naskah tanpa didasari oleh ‘rasa’ antisipasi, dia mungkin sudah harus mulai memilikirkan untuk mencari pekerjaan lain. Kendati pekerjaan editor adalah mencari dan mencari naskah (mungkin hanya satu dari lima puluh naskah yang diterima), kepuasan tertinggi yang dialami oleh seorang editor dalam profesinya bersumber dari kegiatan mencari dan mendapatkan ini.
Walaupun para penulis tahu bagaimana secara individu mereka ditemukan, mereka tetap tidak sepenuhnya memahami bagaimana sebenarnya rencana para editor dalam mencari. Literary agent bisa saja menjadi kemungkinan pertama yang muncul, dan itu memang betul bahwa dalam lima puluh tahun terakhir lebih dari 80% naskah buku-buku umum disalurkan melalui literary agent. (Tak bisa disangkal bahwa mencari agen yang baik adalah sama sulitnya seperti mencari penerbit yang baik; yang bagi para penulis menjadi seperti persoalan ayam dan  telur. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa agen memiliki jalur potensial ke penerbit yang lebih banyak dibandingkan dengan edior yang hanya memiliki satu jalur; sehingga melalui agen jelas memiliki kemungkinan yang lebih besar.)
Sudah sejak lama para penerbit menanamkan prinsip mengenai hubungannya dengan para agen sebagai hubungan seperti pisau dan tenggorokan. Menggunakan agen akan mengambil banyak porsi waktu kerja editor, atau justru hal ini jangan dianggap sebagai membangun persaingan. Sebaliknya, hubungan antara agen dan editor sebaiknya dilihat sebagai dua titik pada sebuah segitiga, sedangkan penulis tentu saja titik yang satunya. Rasanya tidak ada editor yang bisa “menjangkau” semua agen, sehingga seiring dengan berjalannya waktu kedua belah pihak saling memperkuat hubungan mereka dengan para penulis, dan dengan para pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama dengan mereka. Dan tentu saja, perkembangan hubungan ini tidak perlu selalu, tetapi justru sering, dimulai dengan acara makan siang, atau yang lebih pribadi seperti telepon atau faks.
Tentu saja, editor harus memperluas jaringan mereka di luar keagenan New York dan California, demi kepentingan mereka di masa mendatang. Lahan-lahan yang harus digarap meliputi pertemuan penulis, kursus penulisan kreatif, komunitas kampus, majalah populer ataupun majalah sastra, penulis yang memiliki jaringan penulis, pencarian bakat di luar negeri mapun di dalam negeri, dan penjalinan hubungan dengan penerbit luar negeri. Meskipun keberuntungan memiliki peran, satu atau dua kejadian dalam pertemuan atau akuisisi naskah memiliki alasan yang logis. Contohnya saja, karena saya tinggal di lingkungan universitas, saya bertemu dengan banyak penulis hebat. Perlu dicatat bahwa setelah bukunya terbit, penulis yang tidak melalui agen, biasanya atas saran penerbit, lebih merasa bebas. Agen juga “pemulung”.
Hal khusus yang hrus diperhatikan adalah buku-buku yang dituls berdasarkan pemikiran dari editor, biasanya buku-buku nonfiksi. Maksudnya, penulis biasanya membutuhkan ide, dan editor memiliki ide-ide yang kontroversial. Atau sebaliknya, editor memiliki ide, lalu meminta penulis untuk menuangkannya (Sebuah contoh yang terkenal adalah apa yang dilakukan oleh Cecil Scott dari penerbit Macmillan, yang memberikan saran kepada Barbara Tuchman, untuk menulis buku yang kemudian dikenal dengan judul The Guns of August). Buku-buku serial merupakan alat lain yang mengikat penulis dengan kontrak, yang sebelumnya mungkin tidak mereka bayangkan. Buku-buku serial biasanya merupakan buah dari ide-ide subur editor dan penulis. Penghargaan tentunya harus kita berikan kepada Jason Epstein dari penerbit Random House atas idenya  mengenai genre baru dalam penerbitan, yaitu buku-buku saku.
Kemudian, ada pertemuan editorial, forum penggalian inspirasi, diskusi-diskusi panjang, dukungan timbal-balik, juga argumentasi, saling menghormati, dan beragam sanjungan yang merupakan kritik tersembunyi. Itu semua sangat manusiawi. Namun, di luar masalah-masalah yang diagendakan dan hasil-hasil yang dicatat, pertemuan-pertemuan itu sendiri berbeda antara penerbit satu dan penerbit yang lain, sebagaimana berbeda orang-orang yang terlibat di dalamnya, mulai dari para pembuat keputusan sampai peserta “pengembira”. Terlepas dari bagaimana keberadaan mereka, mereka berusaha untuk mendefinisikan editor dalam persepsi mereka sendiri, khusunya yang berkenaan dengan proposal, saran, opini, dan pola-pola penggalian ide yang mereka gunakan di dalam pertemuan. Secara keseluruhan, rapat editorial menggambarkan penerbitan dalam kaitannya dengan bobot kepercayaan yang diberikannya kepada bagian editorial selain kepada para editor, proses pembuatan keputusan, bahkan kepada jiwa dan semangat penerbitan itu sendiri. Walaupun mereka bersifat eksklusif, hanya terbatas pada orang-orang editorial, dan undangan tertentu, seperti bagian pemasaran, bagian legal, dan bagian promosi, para penulis kreatif juga bisa mempelajari sebuah penerbitan dengan mengajukan pertanyaan mereka sendiri.
Fungsi kedua adalah editor sebagai ahli terapis atau tukang sulap penghubung. Apapun istilah yang diberikan kepada editor, seorang editor adalah, atau seharusnya, melakukan sesuatu yang hampir orang lain, atau teman, atau istri, atau kerabat mana pun, tidak sanggup atau tidak berniat untuk melakukannya, yaitu membaca setiap baris tulisan dengan teliti, mengomentari dengan rinci dan jujur, dan menyarankan perubahan yang dianggap perlu dan penting. Pada tahap ini, editor bersikap sebagai pembaca yang netral, dengan memberi penulis tidak hanya bantuan yang membangun, tetapi juga gambaran awal bagaimana para pengulas, pembaca, dan pasar (khususnya buku-buku nonfiksi) akan merespon, sehingga penulis bersedia untuk melakukan revisi yang dibutuhkan.

* * *
Dua pertanyaan mendasar yang harus diajukan editor kepada penulis adalah: Apakah Anda benar-benar mengatakan apa yang ingin Anda sampaikan? Dan, Apakah Anda menyampaikannya sejelas dan sekonsisten mungkin? Kalau kedua pertanyaan ini kedengarannya tidak berkembang, carilah ide lain. Kedua pertanyaan itu sebenarnya mencakup segalanya, mulai dari kalimat yang taksa dan berulang-ulang, sampai ke pengrusakan dampak novel melalui karakter tokoh yang tidak jelas dan  tidak tergambarkan dengan baik yang secara tidak sengaja bisa membingungkan pembaca. Semua ini tentu saja menjadi bahan yang harus dibicarakan panjang lebar oleh editor dan penulis, dengan penulis menjadi pemutus terakhir. Tidak ada editor yang menyanggah hal ini. Para editor juga mengerti bahwa memahami kapan harus membiarkan sesuatu apa adanya adalah sebuah keterampilan editorial yang tinggi seperti halnya kapan harus memberikan saran mengenai perubahan naskah.
Apakah semua hubungan di atas berlangsung dalam hubungan pertemana yang hangat dan perikatan yang membangun? Tentu saja tidak. Tidak seperti hubungan percintaan. Editor yang sombong, tidak sensitif, dan bebal, penulis yang tidak mau menerima masukan, entah yang sendiri atau yang tim, telah menyebabkan banyaknya perubahan kontrak atau bahkan gagalnya sebuah buku. Pada akhirnya pun mereka berdualah yang akan menanggung akibatnya. Pertanyaan yang lebih mendasar,  yang kerap dikemukakan di press, dan disebutkan di awal permasalahan, adalah apakah kerja keras editorial yang penuh kesetiaan masih ada? Saya, setidak-tidaknya, masih yakin bahwa hal itu masih ada, walaupun adanya peningkatan dalam tekanan komersial, hilangnya keeratan keluarga, dan pesatnya perubahan rasa dan percepatan teknologi. Kenyataannya adalah bahwa semangat untuk melibatkan peran awal editor tidak bisa lagi dipisahkan dari hasil akhir, tidak lagi hanya barang mentah. Dalam kaitan itu, orang-orang editorial tetap tidak akan berubah kendati keadaan ekonomi, kondisi kerja, dan pergaulan mengancam. Editor akan tetap memiliki perhatian, atau dia bukan editor.
Sikap suka memilih seorang editor, khususnya dalam memilih naskah-naskah nonfiksi, perlu mendapatkan pembahasan tersendiri. Seorang bijak pernah mengatakan, sambil tersenyum mengejek: “Seorang editor buku umum yang baik dapat berbicara apa saja selama lima menit, tetapi berubah menjadi pepesan kosong pada menit ke enam.” Hal itu bisa jadi sangat benar bahwa pengetahuan umum merupakan persyaratan yang lebih penting ketimbang hanya menguasai satu bidang ilmu. Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa mengajukan beberapa pertanyaan cerdas kepada penulis dapat mengecoh seolah-olah si penanya mengetahui lebih banyak hal daripada si penulis. Sebaliknya, sejalan dengan perjalanan waktu, kebanyakan editor menjadi terkotak-kotak akibat keegoisan mereka sendiri, entah itu karena ketertarikan mereka kepada masalah hewan, opera, opera binatang, pertempuran, olahraga, makanan, ataupun holtikultura. Lagi-lagi, ini masalah kompatibilitas yang harus dipikirkan oleh penulis jauh-jauh hari.
Fungsi ketiga, editor sebagai orang bermuka dua. Hal inilah yang memakan sebagian besar waktu editor di kantor. (Sebagian besar kegiatan membaca dan mengedit dilakukan di luar ruangan kantor, kebanyakan dilakukan pada malam hari dan akhir pekan. Lagi-lagi, Anda harus mencintai kegiatan itu.). Laporan-laporan yang masuk, urusan surat-menyurat, urusan menelepon, rapat-rapat, jamuan makan pagi, jamuan makan siang, jamuan makan malam, dan acara ke luar kantor semua kegiatan itu membuat editor menjadi seperti pintu putar karena dia harus menjelaskan semua kegiatan itu kepada kedua belah pihak, penulis dan perusahaan.
Biasanya editor adalah penasihat pertama penulis pada saat bernegosiasi dengan penerbit. Semua itu dimulai ketika editor mulai menunjukkan minatnya pada naskah yang diserahkan oleh penulis yang kemudian dilanjutkan dengan persetujuan penerbit untuk menerbitkan naskah tersebut. Setelah itu barulah masuk pada tahap negosiasi kontrak, penyuntingan naskah (di sinilah hubungan yang mendalam antara editor dan penulis dimulai), dan bermuara pada proses penerbitan itu sendiri, mulai dari copy editing, proof reading, produksi, penjualan, sampai publisitas. Selama proses itu, editor biasanya akan berusaha untuk melibatkan anggota timnya sebanyak mungkin, dengan tujuan untuk menimbulkan minat tim tersebut akan naskah yang dikerjakan dan juga memperkenalkan mereka kepada penulis. Di sisi lain, untuk menunjukkan kepada penulis bahwa si editor tidak bekerja sendiri, tetapi dibantu oleh sekelompok profesional. Pada kasus-kasus lain, ketika pengiriman berjalan lambat, ketika penulis mendadak butuh uang, ketika muncul permasalahan di sana-sini yang bisa jadi menghambat pelaksanaan kontrak perjanjian, editorlah yang pertama kali muncul membela kepentingan penulis.
Editor sudah seharusnya, dan biasanya memang, menghargai kenyataan bahwa tantangan paling utama seorang editor adalah mempromosikan semenarik mungkin kualitas buku yang akan diterbitkan. Dimulai dari laporan editorial, lalu ke katalog, jaket buku, sampai ke lembaran publisitas, editorlah yang menjelaskan dengan gamblang mengapa buku itu diterbitkan. Dan editor juga harus menentukan bagaimana sebuah buku akan dipandang di dalam dan di luar penerbitan.
Bagi kebanyakan editor, menulis semua bahan promosi tadi bukanlah pekerjaan mudah. Bagi kebanyakan editor, mengutak-utik tulisan – seburuk apa pun itu – adalah lebih menarik dari pada berusaha bermanis-manis atau memuji-muji sebuah terbitan baru. Ajang pengujian pertama biasanya adalah pada saat rapat penjualan yang diadakan dua sampai tiga kali setahun. Pada kesempatan itu, seorang editor harus harus berjuang mati-matian menjelaskan kepada para sales mengenai mutu buku yang diterbitkannya. Inilah salah satu tempat pengujian yang berat bagi seorang editor.
Ketika seorang editor mewakili penerbit dalam menghadapi penulis, di sinilah ia memainkan peran bermuka dua. Perhitungan bisnis tentu merupakan hal yang paling berperan ketika editor harus terus-menerus menjelaskan kepada penulis mengapa penerbit, misalnya, tidak memasang iklan berwarna satu halaman penuh di sebuah majalah terkemuka, atau mengapa penulis tidak bisa membiayai perjalanan penulis untuk mempromosikan bukunya, atau mengapa penerbit tidak bisa melakukan ini atau itu, atau bahkan memenuhi permintaan yang paling sederhana sekalipun. Yang melatar belakangi masalah berat ini bagi editor adalah karena di satu sisi ia harus membela penerbit, dan di satu sisi lainnya ia harus membela kepentingan penulis; dan pada waktu yang bersamaan energinya harus dibagi secara merata. Seperti halnya hidup berpoligami: tidak bisa seadil mungkin, tetapi itu adalah kenyataan hidup. Pada saat yang bersamaan, ketika editor tengah mengerjakan sebuah buku atau melakukan sesuatu demi kepentingan penulis, ketika ia melakukannya dengan sepenuh hati, mungkin sampai harus bergadang segala, maka selebihnya adalah urusan si editor apakah ia ingin si penulis mengetahui hal itu semua atau tidak.
Mencoba untuk memahami peran editor buku pada penerbitan buku di Amerika tanpa menyebut nama Maxwell Perkins (1884 – 1947) dari penerbit Scribner sama saja seperti membicarakan sejarah penerbangan tanpa menyebut nama Wright bersaudara. Begitulah citra orang yang telah mengedit buku Hemingway, Fitzgerald, Thomas Wolfe, dan banyak lagi yang lain. Seperti apakah perannya sekarang ini? Merupakan sebuah pertanyaan sedih manakala kita mengingat namanya. Cukup adil ketika ada beberapa editor yang menyamakan diri mereka dengan Perkins. Namun, hal itu dapat diperhitungkan bahwa kalau saja ia masih hidup sekarang ini, ia mungkin sudah menghabiskan waktunya lebih banyak dari pada para agen, menyelesaikan semua pekerjaan, mencari penulis pemula, dan secara umum tidak tenggelam ke dalam naskah yang menumpuk di meja. Ia mungkin saja akan memiliki waktu lebih banyak untuk mejadi seorang Maxwell Perkins, bisa dikatakan demikian.
Begitulah adanya, Perkins tetap menjadi trademark pada dunianya. Siapa pun yang tertarik membaca peran seorang editor atau bagaimana hubungan mereka dengan penulis harus membaca buku Editor to Author: The Letters of Maxwell Perkins, yang disunting oleh John Hall Wheelock. Dengan kehangatan, kefasihan, total empati terhadap penulis, dan saran-saran yang persuasif namun tetap lembut, surat-surat Perkins berdiri sendiri sebagai daya tarik bagi siapa pun yang mengikutinya. Dalam tulisan mengenai Thomas Wolfe dan Perkins, kritikus Inggris Cyril Connolly, pada saat berbicara mengenai editor, dengan penuh kebijakan mengatakan bahwa “kita tidak perlu menunjukkan bahwa para penerbit Amerika merupakan sebuah kelompok yang berbdedikasi: mereka loyal, baik hati, dan pekerja keras, mereka membela para penulis dan tidak untuk kepentingan level sosial mereka, atau buku yang ingin mereka tulis sendiri; tetapi mereka memahami bagaimana menjadi seorang yang jujur, menjadi pembela, menjadi pemeriksa, dan menjadi dukun…” *Jadi, itulah adanya.
Seperti yang dikatakan oleh Mort Sahl, masa yang akan datang terbentang di depan, dan peran seorang editor, seperti juga yang lainnya, pasti akan berubah. Tuntutan perusahaan akan keuntungan dan pengetatan pengeluaran sepertinya akan mengarah pada pekerjaan penyuntingan lepas waktu dan pada pengurangan pegawai. Hal tersebut meninggalkan sebuah pertanyaan yang masih menggantung mengenai apakah masih diperlukannya penyuntingan secara umum. Pada satu sisi, menurunnya kualitas penggunaan bahasa, semakin tidak pedulinya orang akan keakuratan, dan semakin berlebihannya penggunaan perangkat lunak pengolah kata semakin menuntut peningkatan peran editorial. Sebaliknya, ungkapan “Siapa peduli?” masih terus terdengar kencang.
Teknologi, secara pelan tapi pasti, tentu akan menginvasi dunia editorial, sebuah proses yang sudah lama usang, seperti yang dikeluhkan oleh  Jonathan Yardley, Jacobs Weisberg, dan yang lainnya yang tidak melihat alasan mengapa editor tidak beralih ke komputer. Permasalahannya adalah karena sedari dulu mengedit merupakan sebuah pekerjaan yang bersifat sugestif alih-alih memaksa. Penyuntingan tidak pernah mening-gal¬¬kan jejak yang bersih. Program pengolah kata sendiri merupakan alat yang tak terban-tahkan dalam urusan menulis atau menulis ulang, tetapi untuk urusan menyunting di atas meja, editan yang bersih bisa jadi membingungkan dan justru mengejek. Dalam urusan ini, maksudnya sampai ditemukannya perangkat lunak dan perangkat keras yang ekonomis dan user friendly, yang bisa menampilkan semua coretan atau editan, maka kertas tempel seperti Post-it dibandingkan dengan komputer masih sangat membantu bagi editor. Dan editor sendiri tetap menjadi orang “yang menggeluti, yang menikmati, yang stress (akibat), yang menjadi korban (dari),” pekerjaannya, sambil mengharap bahwa usaha kerasnya yang tidak kelihatan itu akan melahirkan perbedaan yang positif dan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar